HIDUP DI JEPANG: Hamil

Tahun lalu, Oktober 2015.

Pertama kali datang ke Jepang, saya sedang hamil 4 bulan. Saya datang karena mendapat beasiswa Monbukagakusho untuk menempuh program master di Yamagata University dan akan tinggal selama 2,5 tahun di Tsuruoka. Saya harus melakukan perjalanan seorang diri karena suami tidak bisa mendampingi dengan alasan belum bisa apply untuk dependent visa karena status saya belum resmi sebagai official student. Di Jepang, setiap mahasiswa asing diwajibkan mengikuti pra kuliah selama 6 bulan (di luar masa studi) dengan agenda penelitian (atau tergantung supervisor) dan berstatus sebagai research student. Teknisnya, setengah tahun pertama saya lalui seorang diri dengan kondisi hamil karena sistem pendidikan di Jepang mengharuskan setiap foreigner penerima beasiswa degree harus menjadi research student dengan tujuan orientasi kampus dan lab, dan bahkan melakukan penelitian kecil. Bismillah saya pun berangkat...
Oh ya, tips perjalanan udara bagi ibu hamil sudah saya post, silakan dibaca kalau sedang iseng hehe..

Jepang memang negara hebat. Negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan 'memanusiakan' manusia. Saya salut dengan berbagai macam fasilitas dan bentuk perhatian pemerintah setempat pada ibu hamil, termasuk fasilitas rumah sakit. Tidak hanya pemeriksaan gratis, tapi pihak rumah sakit juga memperhatikan hal-hal kecil seperti memberikan daftar barang-barang yang harus saya sediakan menjelang persalinan nanti. Banyak yang bilang bahwa Jepang adalah negara maju yang based on research. Segala sesuatu dibuat, dibangun dan diatur berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, sehingga kefalidannya bisa dipertanggungjawabkan dan rata-rata tepat sasaran. Saya sangat setuju dengan statement ini. Saya melihat ada banyak kasus ibu melahirkan di bus, di pinggir jalan, di kereta, dll, tapi jarang saya mendengar kasus itu terjadi di Jepang (atau mungkin saya yang kuper :D). Selain itu, banyak juga kasus melahirkan sesar di Indonesia yang sebenarnya tidak ada landasan medisnya. Lalu mengapa justru operasi sesar lebih diidolakan ibu-ibu namun tidak di Jepang?

Bagi ibu-ibu yang sedang hamil dan melakukan perjalanan ke Jepang untuk short stay, sebaiknya menghindari memakan makanan olahan ikan mentah. Dikawatirkan masih banyak ikan yang teradiasi nuklir Fukushima dan tidak bisa dipastikan asal ikannya dari mana (masa iya mau nanya kokinya dulu, hehe). Kalau pun ingin makan sushi, sebaiknya memilih dengan toping olahan matang, seperti tempura atau telur. Masih tetap terasa sensasi sushinya kok, jangan kawatir :). Tapi, tidak bisa makan sashimi. Lebih baik jangan!

Jepang adalah negara disiplin dan terstruktur dalam urusan apapun, apalagi terkait kehadiran calon manusia baru, proses nya akan dijaga dan diawasi dengan mendalam dan sangat baik. Saya yakin sistem ini tidak hanya ada di Jepang, namun juga di beberapa negara maju lainnya karena begitu lah memang seharusnya manusia diperlakukan. Hal ini tentunya yang belum sepenuhnya diterapkan di negara kita. Karena sempat pula saya merasakan pemeriksaan oleh dokter kandungan beberapa kali di Indonesia sebelum akhirnya pindah ke Jepang. Pemeriksaan kandungan di Indonesia menurut saya kurang detail dan hanya diperiksa hal-hal yang umum saja, seperti kondisi janin dan ada atau tidaknya keluhan ibu. Menurut saya, pemeriksaan harus dilakukan lebih dari itu, harus lebih mendalam dan dikorelasikan dengan kemungkinan melahirkan normal atau sesar. 
Selama saya di Jepang pun, tidak selamanya semua proses pemeriksaan berjalan lancar. Mungkin saya akan merasa sangat completely secure jika bahasa Jepang saya sempurna, atau minimal dapat mengerti istilah-istilah kedokteran. Namun, selama proses pemerikasaan kehamilan saya terpaksa harus merepotkan teman-teman Jepang dan Indonesia yang mampu berbahasa Jepang dengan baik. Ini menjadi tantangan baru bagi saya yang selama ini meremehkan kemampuan bahasa Jepang karena sudah berada di zona aman (kampus) dan beberapa orang mampu berbahasa Inggris untuk lebih giat belajar agar cepat mandiri. Saya semakin sadar bahwa saya sedang berada di negara yang menjunjung tinggi budaya dan bahasa nasional yang justru membuat mereka mendunia. Apalagi di Tsuruoka, bukan Tokyo, Osaka, Kyoto atau beberapa kota besar lainnya di Jepang, dokter Obsgyn disini pun sangat jarang ada yang mau berbahasa Inggris walaupun saya sangat yakin bahwa kemampuan menulis atau kemampuan bahasa Inggris mereka sangatlah baik. Bayangkan saja istilah-istilah kedokteran yang sangat internasional dan harus mereka pahami, banyak diantaranya yang menggunakan istilah bahasa inggris.

Saya tiba di Jepang pada Oktober 2015, saat itu usia kehamilan saya menginjak bulan ke-4. Sempat was-was dan takut karena pengalaman pertama bepergian dengan pesawat dalam keadaan hamil dan waktunya cukup lama (7 jam lebih). Tapi yaa.. bismillah... sesungguhnya Allah akan selalu melindungi makhluk yang diamanahkan ciptaanNya, inshaAllah. Benar saja, selama penerbangan, saya mendapat jackpot bersebelahan dengan nobody, alias kosong, sehingga saya bisa tidur selonjoran, alhamdulillah.
Walhasil, alhamdulillah saya sampai dengan selamat. Setibanya di Tsuruoka, saya harus mendaftarkan diri saya ke kantor Kesejahteraan Keluarga (nikofuru にこふる). Sepengetahuan saya kantor ini ada di hampir setiap wilayah atau selevel shi 市 (kabupaten kota). Dengan mendaftar di nikofuru, pemerintah akan mendata saya sebagai wanita hamil dengan data-data lengkap termasuk status pernikahan dan riwayat kesehatan. Dari nikofuru disediakan banyak fasilitas dan informasi penting, misalnya tips selama kehamilan, stimulasi ASI, merawat bayi, hingga sampel popok yang baik. Selain itu, disediakan pula bidan khusus ibu hamil untuk konsultasi secara personal dan available setiap saat jika diminta. Tak hanya itu, diberikan pula gantungan kunci atau maternity mark khusus yang bertuliskan おなかに赤ちゃんがいます(ada bayi di dalam perut saya/saya sedang hamil) dan stiker belanja keperluan bayi dengan potongan harga bagi siapapun yang memiliki stiker tersebut.Maternity mark tidak hanya diberikan kepada mereka yang akan melahirkan di Jepang saja, namun bagi ibu hamil dari luar negeri yang berkunjung ke Jepang untuk short stay juga diberikan. Gantungan kunci mungil ini bisa di dapatkan di stasiun-stasiun kereta.

Gantungan kunci ini bebas dipasang dimanapun (tas/hp dll).
Siapapun yang lihat,dijamin akan sangat menghargai Anda bahkan membantu Anda ketika mengalami kesusahan, jadi sebaiknya dipasang di tempat yang mudah dilihat orang :)

Sebelum saya menuju kantor nikofuru, saya harus mendapat surat rujukan dari dokter yang menyatakan bahwa saya benar-benar hamil. Karenanya, saya pergi ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan keterangan sehingga saya bisa mendaftar ke nikofuru dan mendapatkan beberapa fasilitas. Rangkaian periksa di Rumah Sakit adalah:
1. Mendaftarkan diri --> mendapatkan kartu pasien yang harus dibawa setiap kali periksa
2. Mendaftar untuk diperiksa di bagian Obstetric
3. Menjalani proses pemeriksaan (tes urine, tekanan darah, berat badan, lingkar perut, panjang perut, terakhir, USG)
Sebenarnya pemeriksaan tahap awal kehamilan sangatlah kompleks, tidak hanya terbatas hingga USG, terutama sampai usia kandungan 12 minggu, serangkaian pemeriksaan ini harus dijalani yaitu tes kanker servix (mulut rahim) dan tes sample darah. Dokter akan mengambil sample mulut rahim lalu dilakukan uji laboratorium untuk mengetahui kemungkinan kanker servix atau gangguan lainnya, seperti ada tidaknya bakteri atau virus lain. Begitu pula dengan pengambilan sampel darah yang hasilnya berupa kandungan hemoglobin, sel darah merah, sel darah putih dan adanya kemungkinan penyakit atau virus dalam darah. Pokoknya lengkap!

Nah, setelah itu baru mendaftarkan diri ke nikofuru. Proses pendaftaran tidak memakan waktu yang lama dan pelayanan nya sangat memuaskan. Pihak nikofuru akan memberikan buku record pemeriksaan yang dalam bahasa Jepang bernama 'boshitecho' (buku pemeriksaan kesehatan ibu dan anak). Bentuk bukunya kecil berukuran A5 dan lengkap berisi macam-macam jenis pemeriksaan termasuk selama proses kehamilan dan melahirkan.

Sampul depan

Setelah mendaftar di nikofuru dan mendapat kartu pemeriksaan pasien, proses selanjutnya tidak ada yang istimewa, hanya pemeriksaan rutin setiap 3 minggu oleh dokter kita. Biaya pemeriksaan tidak menentu bergantung pada jenis pemeriksaan yang dilakukan pada hari itu. Pemeriksaan pertama biasanya paling mahal (sekitar 7000yen=Rp750.000)karena ada pengambilan beberapa sampel dan banyak hal yang diperiksa. Saya sarankan bagi semua foreigners untuk memiliki 'hokkensho' (kartu asuransi kesehatan) karena jika tidak, maka biaya pemeriksaan akan sangat mahal.  Namun, ada saat-saat dimana pemeriksaan tidak dipungut biaya sama sekali bisa sampai 3-4 kali, karena tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus melainkan hanya pemeriksaan US.

Semoga artikel ini membantu bagi ibu-ibu baru yang sedang hamil di Jepang. Jika ada yang ditanyakan, feel free to ask :)

Comments

  1. Aslm mba Citra, perkenalkan saya Sifa, saya dan suami skrg tinggal di Fujinomiya, Shizuoka, untuk sekolah bahasa dgn visa student, mau tanya jika saya hamil apakah saya tetap bisa tinggal di Jepang sampai sekolah selesai dan lahiran di Jepang atau saya hrs pulang ke Indonesia krn hamil ?? Trmksh

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

THINGS TO DO IN JAPAN #8-Hanami (Sakura party)

KABUL, AFGHANISTAN: Pemandangan kota

Rock Festival of Agriculture in Tsuruoka, 29 September 2013