Menikah membuka pintu rizki

Oktober. Bulan ke-7 pernikahan kami. Bukan perasaan bosan atau lelah untuk menjadi seorang istri, namun perasaan bahagia dan syukur yang terus melanda. Alhamdulillah kini aku sudah hamil 4 bulan, sempat merasakan 3 bulan kosong terkadang membuat perasaan cemas dan was-was akan menunggu kedatangan nikmat Allah ini. Subhanallah, amanah ini ternyata diberikan di bulan ke-4 pernikahan kami. Cerita yang biasa saja memang dan terkesan sudah sering didengar. Tapi sungguh ada pesan besar dan amanah yang tiada tara yang telah diberikan Allah dan telah inshaAllah perlahan mmengubah hidup kami.Tidak sedikit orang menilai bahwa cerita hidup kami sangat drama yang berakhiran happy ending. Bahkan tak jarang pula yang secara spontan mengucap kata "wah hebat sekali cerita hidupmu, aku pun ingin mengalami hal serupa". Apa daya menilai tanggapan orang. Selalu bagian terindah yang akan diingat dan dipetik. Selalu ending cerita yang dijadikan poin. Silakan saja. Negara kita ini bebas untuk menilai dan berpendapat, begitupun teman-teman sekalian.

Jika boleh berkata jujur, sangat tidak mudah untuk bisa mencapai titik cerita biasa saja ini. Penuh tangis, haru, dan sedih yang telah kami ikhlaskan untuk mencapai titik ini. InshaAllah karena doa dan kasih sayang orang terkasih yang membuat kami mampu melalui kerikil tajam proses kehidupan hingga akhirnya kami mampu tersenyum dan mengucap terima kasih atas doa dan dorongan dari keluarga dan sahabat. Sudah terlalu sering saya mengisahkan perjalanan menuju pernikahan. Kali ini saya ingin berbagi cerita kehidupan saya dan suami setelah menikah dalam rangka terus memperbaiki diri.

Selang satu minggu pernikahan, kami memutuskan untuk hijrah ke Jakarta untuk merantau, lebih tepatnya karena saya telah diterima bekerja di salah satu kantor di Jakarta Pusat. Gaji saya memang sedikit tapi alhamdulillah cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan kami berdua. Sampai 2 bulan kami di Jakarta, kami menggantungkan hidup dari gaji saya yang hanya 2,2 juta. Hidup di Jakarta dengan gaji 2,2 juta (bahkan tidak memenuhi UMR DKI) memang cukup menantang. Tapi kami tidak pernah menganggap itu sebagai beban, tapi justru tantangan yang harus kami taklukkan. Kami tinggal di kontrakan 3x3m dengan harga 800.000, ya, memang cukup mahal tapi berdasarkan hasil survey kami ke beberapa tempat di daerah Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan sekitarnya, harga inilah yang paling murah. Beruntungnya kami masih dilindungi Allah dengan dijodohkan dengan kontrakan tersebut karena pemiliknya pun ramah, baik hati dan tetangga sekitar yang sangat menerima kami. Bahkan tak jarang kami disumbang makanan dan minuman oleh tetangga terdekat. Kontrakan kecil kami juga tak jauh dari pasar dan tempat saya bekerja, sehingga tak perlu mengeluarkan ongkos transport lagi untuk pergi ke tempat kerja. Alhamdulillah...

Sisa 1,4 juta dari gaji saya kami gunakan untuk keperluan sehari-hari. Sangat cukup untuk makan dan minum dan terkadang makan di luar jika sedang bosan dengan suasana kontrakan. Situasi ini tidak pernah membuat kami mengeluh, mengumpat atau mencibir Allah. Justru syukur atas semua rizki ini lah yang terus kami coba panjatkan. Kami sadar bahwa di kota sebesar Jakarta masih banyak gelandangan dan anak terlantar yang bahkan untuk berteduh dari panas dan hujan saja mereka masih harus kebingungan. Bahkan tidak sedikit kami jumpai 'rumah gerobak' yang ditinggali oleh satu keluarga. Masih banyak pula pemuda yang terpaksa harus menjalani pekerjaan malam demi makan dan membeli pakaian cantik. Naudzubillah... Iman lah yang terus kami syukuri karena masih ada di hati kami dan inshaAllah akan terus kami junjung.

Bohong jika sebagai seorang Istri saya tidak pernah merasa sedih karena harus merelakan gaji saya yang kecil sebagai satu-satunya sumber income keluarga. Debat kecil ada tapi justru itu lebih membuat saya mencintai suami saya. Saya akan menuntut hak saya jika suami saya hanya tidur dan tidak pernah keluar rumah untuk mencari pekerjaan. Saya akan berontak jika suami saya tanpa ada rasa tenggang rasa menghamburkan gaji saya tanpa pernah memikirkan perasaan saya. Sedikit pun suami saya tak pernah melakukan itu. Dalam rumah tangga kami tidak ada istilah "uang ku atau uang mu", yang ada hanya "uang kita adalah milik kita dan kita akan gunakan bersama". Saya sangat ikhlas jika gaji saya yang kecil dapat bermanfaat untuk membangun pernikahan kami. Saya sangat rela jika gaji saya yang tidak seberapa besar dapat membahagiakan suami saya. Saya sangat ridho jika dari gaji saya yang dibawah UMR mampu mensejahterakan mahkluk Allah yang lain. Suami saya adalah orang yang sangat giat. Di dalam hidupnya sudah terlalu banyak pengalaman buruk dan kondisi hidup yang jauh lebih menyedihkan dibandingkan apa yang kami alami sekarang. Semasa kecil, ia harus putus sekolah karena perang yang berkepanjangan. Masa mudanya ia habiskan dengan bekerja keras sebagai kuli untuk mencukupi kebutuhkan orang tua, kakak dan adiknya. Bahkan untuk hidup, ia harus berjalan kaki di sepanjang perbatasan Afghanistan, Pakistan dan Iran untuk mengindari hujanan peluru. Saya sungguh beruntung memiliki suami seperti beliau. Tidak pernah sedikitpun ia mengucap kata menyerah, sedih, mengeluh, lelah. Namun ia selalu mengingatkan saya bahwa  selama 2 bulan ia mengganggur, tidak pernah ada rasa puas dalam dirinya hanya karena menikmati gaji saya, sebisa yang ia lakukan untuk mencari pekerjaan telah ia lakukan dengan bismillah. Saya sadar bahwa sebagai warga negara Afghanistan yang cenderung diremehkan oleh pemerintah Indonesia, tidak banyak pekerjaan kantor yang bisa ia dapat. Terlebih jika berhubungan dengan fresh graduate seperti suami saya. Tak jarang juga pandangan miring dan ucapan kasar selalu dilontarkan oleh kawan kantor saya setelah mereka tau bahwa suami saya berasal dari Afghanistan. Mereka selalu menjadikan ini sebagai bahan candaan yang hanya saya tanggapi dengan tawa lantang. Mungkin terkadang mereka lupa bahwa seburuk apapun suami saya, kewajiban saya adalah menutupi aib tersebut. Sebagai seorang istri saya wajib melindungi suami saya dari hinaan apapun.

Jalan Allah terbuka setelah suatu hari saya silaturahmi dengan pemilik kontrakan saya dengan bertanya "kira-kira ada masjid yang bisa terima guru ngaji tidak ya bu?", dari situ saya lalu berpikir, kenapa tidak mencoba membuka kursus bahasa inggris saja untuk suami saya. Apalagi ini Jakarta dan kami tinggal di area perkantoran, pikiran saya pasti banyak perusahaan multinasional yang karyawannya butuh belajar bahasa inggris karena tuntutan pekerjaan. Alhamdulillah pemilik kontrakan saya punya kenalan tetangga yang bekerja di daerah perkantoran Jakarta Barat. Tak perlu pikir panjang langsung saya tawari dan diterima dengan baik. Mulai minggu depan suami saya dapat bekerja sebagai guru les dengan siswa sebanyak 7 orang. Memang tidak banyak gaji yang ia dapat, tapi cukup meringkankan pembayaran kontrakan. Dari situlah kami melebarkan sayap. Selain untuk orang kantoran, suami saya juga mengajar untuk siswa SMP dan umum yang ingin les private. Alhamdulillah.. sungguh janji Allah bahwa pernikahan membuka pintu rizki dan silaturahmi memperlancar rizki telah kami buktikan kebenarannya.

Comments

  1. Subhanallah citra.. sungguh memotivasi sekali tulisanmu ini. bagi aku yg belum nikah menjadikan motivasi besar,, Terima Kasih citra tulisannya,.

    Teguh. temen lama kamu ospek

    ReplyDelete
    Replies
    1. Syukur alhamdulillah jika bisa menginspirasi... terima kasih Teguh... apa kabar kawan lama?

      Delete
    2. Alhamdulillah baik dan sehat cit, skrg aku tinggal di jakarta.
      kamu dan keluarga apa kabar? zahra udah besar pasti ya..

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

THINGS TO DO IN JAPAN #8-Hanami (Sakura party)

KABUL, AFGHANISTAN: Pemandangan kota

Rock Festival of Agriculture in Tsuruoka, 29 September 2013