NGASUH ANAK DI JEPANG Part 1 #PAUD

Banyak orang yang setuju bahwa presiden adalah salah satu orang yang paling sibuk dalam mengurus sebuah bangsa dan Negara. Saya pun sangat setuju dengan pemikiran tersebut. Bagaimana tidak. Segala ucapan, perbuatan, tindakan dan keputusan seorang presiden akan menentukan nasib rakyat. Tidak hanya untuk saat ini tapi juga untuk masa datang. Bentuk penerapan keputusan dan segala pertimbangan presiden juga akan sangat berpengaruh besar terhadap karakter bangsa. Akan dibuat seperti apa bangsa ini, presiden adalah ujung tombaknya.

Analogi presiden sangat cocok disamakan dengan peran seorang ibu dalam sebuah keluarga. Bahkan ada pula ungkapan bahwa ibu adalah jiwa sebuah keluarga. Jika jiwa itu sehat, aktif dan selalu gembira, maka badan pun akan mengikuti. Sama hal nya dengan sebuah keluarga, jika peran ibu sangat optimal, dipegang oleh sosok yang cerdas, religious, pekerja keras, pantang menyerah dan selalu bahagia, maka anggota keluarga lain pun akan mengikuti.

Saya sangat merasakan perubahan hidup saya di usia 25 tahun ini. Sejak dulu saya memang bercita-cita ingin menikah muda, dan di usia 25 tahun sudah berkeinginan menjadi seorang ibu. Dulu pemahaman awam saya hanya berkutat bahwa jika menjadi ibu masih dalam usia muda, maka energy masih banyak, pemikiran masih sangat global dan open, pergaulan juga masih terbuka untuk semua kalangan, dan, anak akan jauh lebih dekat dengan ibunya yang tidak terlalu jauh perbedaan usianya. Dan ternyata pemikiran awam saya itu berguna dan terbukti kebenarannya. Memiliki seorang anak bukan hanya kesiapan finansial yang diperlukan, tapi juga fisik ibu yang harus optimal. Terlebih untuk ibu pekerja seperti saya. Saya masih menjadi mahasiswa dan program beasiswa saya cukup menguras tenaga dan waktu. Di sela-sela segala kesibukan ini, keluarga tetap menjadi prioritas saya. Program beasiswa akan terus  ada, negosiasi dengan professor tentang jadwal kelas dan sebagainya selalu bisa dilakukan, tapi momen dengan keluarga tidak akan pernah bisa tergantikan. Apalagi dalam momen pengembangan karakter anak usia dini.

Zahra masih berusia 1 tahun 17 hari saat masuk playgroup. Usia yang sangat dini memang untuk masuk playgroup. Selain kesibukan saya dan suami, banyak hal tentunya yang menjadi pertimbangan kami hingga sampai pada keputusan ini. Pertama, Jepang dengan system pendidikannya yang terkenal bagus membuat saya haus untuk menggali informasi di dalamnya, mempelajari sistemnya dan menerapkannya pada anak-anak saya kelak. Saya ingin tau darimana jiwa kedisiplinan yang kental melekat ada orang jepang muncul. Sejak kapan hal itu diajarkan dan mengapa sangat penting untuk diketahui sejak dini. Dan kini saya tau jawabannya. Kedua, Zahra harus belajar ilmu social. Bergaul dengan kawan-kawan sebayanya, bermain dan berkomunikasi bersama mereka. Zahra harus belajar ikhlasnya memberi, berterima kasih jika diberi, memahami karakter kawan-kawannya, serta belajar berkomunikasi verbal. Mengikuti dan mempelajari gerak-gerik kawan-kawannya yang belum ia bisa dan perlahan juga akan dipraktekkannya. Ketiga, segala bentuk proses pelajaran ini ada yang mengawasi. Problematika di Indonesia yang menurut saya perlu dibenahi dalam system pendidikan anak usia dini adalah pengawasan yang kurang. Banyaknya kasus criminal membuat kami orang tua kurang percaya dengan jasa sekolah PAUD dan memilih mengasuh anak sendiri di rumah dan mengurangi akses anak belajar di luar rumah. Sunggguh disayangkan.

Mungkin banyak anggapan dan pendapat bahwa Zahra masih terlalu kecil untuk belajar ilmu social. Namun bagi saya, ibunya, mengapa harus menunda mengajarkan yang baik-baik? Toh, baik juga untuk anaknya kelak. Lagi pula, Zahra juga harus belajar mandiri, lepas dari ibunya, memiliki keyakinan bahwa ia hanya akan berada di sekolah selama beberapa jam dan akan bertemu orang tuanya di sore hari nanti. Zahra juga harus mulai percaya pada orang lain. Bahwa orang yang dipercayakan oleh ibunya untuk mengasunya bukanlah orang yang jahat dan bukan orang yang akan melukainya, melainkan orang yang akan memberinya makan jika ia lapar, mengganti popoknya jika itu kotor, membersihkan mulutnya setelah makan dan mengajarinya begitu banyak hal. Zahra harus mulai bisa mengenal bahwa ia memiliki orang tua selain di rumah, yaitu guru-gurunya.

Buktinya, Zahra sudah banyak belajar dari seminggu ia berada di sekolah. Yaitu belajar berjalan. Awalnya, ia masih sangat takut untuk menegakkan kakinya dan melangkah tanpa pegangan, namun kini ia mulai berani. Guru-gurunya pun menyetujui. Zahra sudah mulai berani melepas pegangan dan berjalan dengan kakinya sendiri. Hal kecil ini sudah sangat membanggakan bagi saya. Saya rasa semua orang tua pasti tau rasanya. Inilah makna dari sebuah rasa ‘tega’. Banyak ibu-ibu yang tidak tega melihat anaknya belajar, dalam hal apapun, kata ‘kasihan’ selalu menjadi senjata ampuh. Namun saya belajar untuk tidak terlalu hanyut dalam perasaan iba itu. Zahra kecil sedang belajar mandiri, belajar berjalan sendiri, kelak ia lah yang akan membantu saya berjalan, menunjukkan jalan menuju ujung dunia dan berbalik mengajari saya banyak hal. 


Comments

Popular posts from this blog

THINGS TO DO IN JAPAN #8-Hanami (Sakura party)

KABUL, AFGHANISTAN: Pemandangan kota

Rock Festival of Agriculture in Tsuruoka, 29 September 2013