MARRIAGE: Perjuangan menuju Tsuruoka

Bagi orang yang pertama kali datang ke Jepang atau datang ke negara manapun wajar jika merasa kebingungan dengan sistem yang berlaku di negara tersebut, ditambah lagi jika yang bersangkutan tidak memahami bahasa dan budaya masyarakat sekitar. Jepang merupakan salah satu negara termaju di Asia yang sebagian besar mengedepankan tenaga mesin otomotis dibanding tenaga/jasa manusia. Hampir di semua tempat umum fasilitas yang disediakan dilakukan dengan mesin dan manusia hanya sebatas berperan sebagai pengontrol/pengawas. Jepang juga merupakan negara yang tak pernah melupakan atau meninggalkan budayanya. Hampir sebagian besar orang Jepang menghindari penggunaan bahasa Inggris dalam bercakap-cakap, kecuali dalam kondisi tertentu, sehingga hal ini lebih menyulitkan para pelancong jika mereka sedang tersesat.
Suami saya akan datang tanggal 13 Februari 2016 ke Tsuruoka dari Indonesia. Beliau adalah WNA yang sudah beberapa kali merasakan pahit getirnya perjalanan lintas negara. Seperti 4 tahun merasakan kerasnya hidup di Iran, 6 bulan di kejamnya Pakistan, 5 tahun di India dan kurang lebih 1 tahun di Indonesia. Pengalaman ini yang mendasarkan saya untuk tega dan sangat pede tidak perlu menjemputnya di Bandara Haneda atau Stasiun Tokyo. Ditambah lagi saya sedang hamil tua dan tidak memungkinkan bagi saya untuk bepergian jauh karena jarak Tsuruoka-Tokyo mencapai 7 jam perjalanan bus. Suami saya pun tidak akan mengijinkan saya pergi ke Tokyo hanya untuk menjemput saya.
Ia tiba di Tokyo tengah malam dengan kondisi lelah tentunya, hal ini diperburuk dengan sulitnya mengontak saya karena ada masalah dengan HP nya, segala cara telah ia lakukan dan pada akhirnya ia hanya berbekal pada instruksi saya terakhir kami berkontak via telfon di Kuala Lumpur. Naik metro pertama (sekitar jam 5) menuju stasiun Tokyo lalu naik Shinkanzen paling pagi (06.08) menuju Tsuruoka. Itulah komunikasi terakhir kami dan saya hanya berharap bahwa ia akan benar-benar mengikuti instruksi saya sehingga ia akan tiba tepat waktu dan saya akan tau kapan saya harus menjemputnya di stasiun Tsuruoka.
Sampai menjelang pagi saya masih tidak bisa menghubungi suami, orang tua saya di Indonesia sudah kebingungan menanyakan posisi suami saya dan bagaimana kabarnya. Saya tidak bisa memberikan informasi apapun karena pada kenyataannya saya pun kebingugan menghubunginya. Walhasil, berbekal feeling dan bismillah, saya menuju stasiun Tsuruoka pukul 10.18, sesuai jadwal ketibaan Shinkanzen terpagi. Kalaupun suami saya gagal naik yang terpagi, saya akan menunggu hingga pukul 12.48 sampai jadwal ketibaan kereta berikutnya.
Saya tiba pukul 10.25 di stasiun Tsuruoka, terlambat memang. Saya mencoba mencari jadwal ketibaan Shinkanzen di papan ketibaan tapi tidak saya temukan kanji untuk Tokyo, maka saya memutuskan untuk bertanya pada pelayan loket. Belum lama saya mengantri tiba-tiba saya melihat sosok lelaki yang tidak asing. 2 tas besar di badannya mengingatkan saya seberapa kuat fisiknya. 27 kilo ia bawa dengan satu badan dengan tanpa merasakan keberatan atau lelah. Ia lah suami saya. Walaupun ia tak menunjukkan kelelahannya di hadapan saya, saya bisa melihat raut lelah di wajahnya. Benar saja, ia tidak tidur semalaman karena berusaha menghubungi saya dan kawatir akan ketinggalan monorel pertama. Ia juga harus berlarian kesana kemari, kebingungan dan lapar untuk mengejar Shinkanzen di stasiun yang sangat besar dan membingungkan. Ditambah lagi harus berhadapan dengan orang Jepang yang sama sekali tidak berbahasa Inggris sehingga pelan-pelan ia harus menjelaskan maksud dan tujuannya ketika menanyakan suatu hal. Alhamdulillah sekarang saya bisa melihatnya di depan mata saya, di Tsuruoka.
Setibanya di rumah, ia menceritakan pengalamanya di Tokyo dan perjalanannya menuju Tsuruoka. Semua memang ada hikmahnya, Allah tau mana yang terbaik. Sulitnya menhubungi saya saat di Haneda justru membuat suami saya mandiri dan terpaksa harus melakukan apapun sendiri. Instruksi saya mungkin Allah anggap cukup untuk menuju Tsuruoka, karenanya suami hanya perlu menanyakan jam berapa kereta terpagi akan mengantarnya dari Bandara Haneda menuju stasiun Tokyo. Tantangan selanjutnya adalah menghadapi mesin tiket yang juga membingungkan. Mungkin tidak ada gunanya juga jika suami saya menanyakan hal ini pada saya karena saya tidak pernah naik Shinkanzen, dan karenanya, ia terpaksa harus bertanya pada orang Jepang dan bergantung pada bantuan mereka. Banyak lagi hikmah di balik perjalanan ini. Sungguh luar biasa. Allah ingin suami saya berbekal pengetahuan budaya bahkan sebelum ia benar-benar dipertemukan dengan saya. Alhamdulillah...


Comments

Popular posts from this blog

THINGS TO DO IN JAPAN #8-Hanami (Sakura party)

KABUL, AFGHANISTAN: Pemandangan kota

Rock Festival of Agriculture in Tsuruoka, 29 September 2013